Ribuan manusia berteriak-teriak ditengah terik dipelataran PEMKAB Tulungagung, beberapa waktu lalu. Tak hanya bapak-bapak dan pemuda melainkan ibu-ibu dan anak kecilpun bersama turun ke jalan, mereka mengkibarkan spanduk bertuliskan “bubarkan pertambangan bukit cemenung”, “selamatkan hutan untuk anak-cucu kita”.
“jane awake ra ngolehi nambang gunung nang duwur kae, tapi kok iso yo? Ko, lek gununge ambrol omahe dewe entek, ora oleh duwit malah ketiban watu awake” obrolan ibu-ibu di barisan belakang pengunjuk rasa.
Ibu-ibu mempertanyakan izin operasi tambang, padahal masyarakat tidak mengizinkan, bila bukit itu sampai runtuh habis rumah-rumah yang ada di bawah.
Bukit Cemenung di Kecamatan Rejotangan perbatasan Kab. Tulungagung dengan Kab. Blitar ini, menurut beberapa sumber disinyalir tidak hanya menyimpan bijih besi namun juga emas. Tulungagung memang kaya akan mineral alam, bahkan marmer nomer dua sedunia besasal dari kota pesisir laut selatan ini.
15 km dari kecamatan Rejotangan kearah barat selatan sentra pertambangan marmer berada, tepatnya di kec. Besuki dan Campurdarat. Bangunan-bangunan raksasa menghiasai pinggiran hutan, bising raungan mesin, lalu lalang truk pengangkut marmer menjadi pemandangan sehari-hari. Ibu-ibu bergerumun di gedung-gedung tempat pembuatan pernak-pernik dari marmer, bapak-bapak bergelut dengan batu-batu putih itu sepanjang waktu.
Marmer yang ditambang dari gunung-gunung dengan mengorbankan hutan-hutan ini, tidak hanya dipasaran Indonesia namun juga ekspor ke Asia, Eropa dan Amerika. Dalam show room yang ada dipinggir -pinggir jalan, dapat terlihat pernik mulai dari asbak, patung sampai bath up (tempat berendam yang biasa di hotel-hotel).
Di gubuk pinggiran hutan tinggal sebuah keluarga dengan tiga orang anak, “ya beginilah kami mas, tiap hari ke pabrik buat bekerja. Tapi dari dulu tetep gini – gini aja”. Tutur bapak berkulit pekat dan guratan – guratan tebal di keningnya ini.
Rumah keluarga ini sangatlah sederhana, anak yang pertama telah lulus STM dan kini membantu bapaknya di pertambangan marmer. Dua adik perempuanya masih duduk di bangku SMP dan SD. Sekolah tidak jauh dari rumah, saat musim hujan turun mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk sampai ke tempat menimba ilmu, walet atau lumpur yang turun dari gunung terbawa air hujan menggenangi jalan, yang juga akses menuju ke pantai dan pelabuhan ikan popoh indah, bahkan walet masuk kerumah bila hujan lebat datang.
Beberapa tahun yang lalu saat aku masih di bangku SMP sering sekali bersepeda menuju ke pantai, saat liburan datang bersama kawan – kawan. “dari dulu memang kayak gini keadaanya saat musim hujan datang”. Namun dulu hanya menggenang beberapa sentimeter saja, tapi sekarang bisa mencapai setengah meter. Pepohonan besar yang dulu berjajar mengiringi perjalan kamipun, sudah menjadi ladang dan beberapa menjadi pabrik – pabrik pengolah marmer.
Dari 40.000 hektar lebih hutan Tulungagung, 25.000 hektar lebih gundul, dan sisanya rusak dan hanya ada sebagian yang masih terjaga. Itupun peran serta masyarakat adat penghuni hutan.
Ditengah kerusakan hutan yang parah ini pemerintah justru alokasi APBD 2010 kab Tulungagung untuk hutan hanya 0,03% atau dibawah tiga ratus juta dari total anggaran satu triliyun lebih, bandingkan dengan pengadaan mobil ddinas yang menghabiskan anggaran sampai enam milyar. Ketika ditanyakan kepada DPRD tentang hal ini mereka malah menjawab “hutan itu tanggung jawab perum perhutani bukan menjadi kewenangan kami”. Padahal apabila terjadi bencana pada warganya pemerintah juga yang selalu repot.
Seperti yang terjadi di kecamatan Sendang beberapa waktu yang lalu, tanah lonsor yang telah merenggut beberapa nyawapun di cover oleh PEMKAB. Perhutanipun seolah-olah menutup matanya pada kejadian itu.
Ketidaksenergisan antara berbagai steak holder juga menambah penderitaan hutan di tulungagung. Tatkala kepentingan-kepentingan yang telah memfokuskan pada isi perut membuat kita semakin terperanga, menatap sedih ke hadapan alam. Saat aku berkomunikasi dengan beberapa oknum yang terkait dengan hutan, mulai dari PERUM PERHUTANI, PEMKAB dan lain-lain, mereka hanya saling lempar dalam penanggulangan dampak.
Dampak kerusakan telah dirasakan bersama hingga beberapa kelompok dalam masyarakat tergerak untuk menyelamatkan lingkungan yang semakin lama semakin menjadi ini. Di pagi itu saat aku mencoba menghilangkan penat dengan berjalan-jalan ke sebuah telaga yang masih perawan di Sawo Campurdarat, aku melihat sesosok tua, kerut kening telah dan lebam kulit menyelimuti tubuh yang tak muda lagi, sedang membersihkan semak-semak disekitar pohon trembesi yang tingginya masih satu setengah meteran.
“Pak Triman, pripun kabare? Aku sapa sambil tersenyum. Aku sudah cukup kenal dengan dedengkot aktifis lingkungan ini, yang juga merupakan ketua kasepuhan “Sendang Tirto Mulyo” sebuah kelompok pemerhati budaya dan lingkungan di pesisir Tulungagung Selatan. Apik mas, jawab beliau dengan senyum simpulnya. Dengan serba keterbatasan beliau terus berusaha melestarikan hutan semampu beliau hingga menutup usia, kira-kira seperti itu yang beliau inginkan.
Sayangnya keteguhan hati dan semangat para aktifis lingkungan seperti Pak Triman, kurang mendapat apresiasi yang konkret dari pemerintah. Justru apresiasi datang dari kaum muda khususnya yang tergabung dalam pecinta alam ataupun dari NGO (LSM) lingkungan yang turut member support baik moril maupun materil. Hal ini terlihat dari proses pelaksanaan konservasi yang sering dilakukan oleh masyarakat. Perencanaan sering tidak diikuti oleh pemerintah maupun perhutani namun apabila terjadi suatu hal sering terjadi suatu tindakan yang menghambat proses konservasi yang sedang berlangsung.
Dari seorang tua penghuni pinggiran hutan aku mendapatkan sebuah nasehat penting, tidak ada dusta dan kepura-puraan. “Tuhan telah menciptakan hutan untuk manusia dan seyogyanya kita bersahabat dengan mereka” dan “usaha berlebih untuk memaksimalkan hasil hutan malah akan beerbuah bencana dan sengketa”. Dan marilah kita bersama-sama berfikir dan bertindak “untuk keadilan lingkungan dan masa depan bumi kita”.