Gemercik air hujan pagi ini
memberikan kesejukan yang terasa mendera dalam sebuah pergeliatan maya dan asa.
Asa ini terus mengalir dalam rebahan yang terus menggelayuti temaram
lampu-lampu neon yang menemani setiap pejalanan asa seorang petani yang
menelusuri jengkal-jengkal tanah pematang dengan penuh pengharapan untuk
mendapatkan hasil dari perut bumi yang sangat ia idam-idamkan.
Dalam penggelayutan menatap
daun-daun tembakau yang siap untuk dipanen, setelah 3 bulan dibelai dalam
buaian manja pak tani yang sudah renta namun masih punya asa dalam membaharui
kehidupan anak cucunya. Sebut saja pak Umar, seorang yang usianya lebih dari 70
tahun dan ikut berjuang dalam perang kemerdekaan yang kini dikaruniai 4 orang
anak dan seorang cucu. Anak pertama laki-laki dan susudah lulus SMP menikah,
sedang ketiga adecknya cew dan masih duduk dibangku SD dan SMP, dan semuanya
menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian warisan dari kakek buyutnya yang
hanya sebesar 70ru atau ¼ Ha.
Para petani pada umumnya sangat
bersemangat ketika musim panen tiba, namun tak begitu dengan pak umar dan
petani tembakau lainya. Harga tembakau untuk tahun ini terjun bebas diangka Rp.
15,000 untuk tembakau kering dan seribu rupiah untuk tembakau basah di pohon.
Dari tanah pak umar menghasilkan tembakau basah maksimal 1,5 ton. Dan jika di
kurs kan denga harga seribu rupiah hanya menghasilkan Rp 1.500.000; itupun
setelah proses hampir 4 bulan. Sungguh dilemma yang teramat dalam.
Pak umar pun mengigau tentang
keadaan harga tembakau 2 tahun yang lalu dimana untuk kering tembus sampai Rp.
100.000; dan harga normal dipasaran untuk perhitungan BEP adalah Rp. 35.000;
untuk tembakau kering. Tapi apalah daya meskipun harga rokok terus merangkak
naik tapi tembakau malahan turun. Sunguh kacau balau kondisi masyarakat kecil
dan kaum buruh yang ada di negeri ini.
Dipinggiran sungai kecil yang
membelah hamparan sawah yang teramat luas umar menggelayut dalam tekanan dan
beribu tanda tanya. Kenapa para pembesar senang dengan penderitaan kami, tak
adakah secercah perasaan yang memberikan sebuah keadilan social seperti yang
didengungkan sang proklamator dalam perang kemerdekaan yang lalu.
Dan kenapa “kata gemah ripah loh
jinawi” dan “asah –asih, sambang-sambung” tak pernah melambung dalam membntuk
sebuah zona perekonomian untuk mensejahterakan rakyat sesui apa yang menjadi
penyatu kekuatan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.