Jumat, 23 November 2012

0 Tak senikmat hisapan Tembakau ituu


Gemercik air hujan pagi ini memberikan kesejukan yang terasa mendera dalam sebuah pergeliatan maya dan asa. Asa ini terus mengalir dalam rebahan yang terus menggelayuti temaram lampu-lampu neon yang menemani setiap pejalanan asa seorang petani yang menelusuri jengkal-jengkal tanah pematang dengan penuh pengharapan untuk mendapatkan hasil dari perut bumi yang sangat ia idam-idamkan.

Dalam penggelayutan menatap daun-daun tembakau yang siap untuk dipanen, setelah 3 bulan dibelai dalam buaian manja pak tani yang sudah renta namun masih punya asa dalam membaharui kehidupan anak cucunya. Sebut saja pak Umar, seorang yang usianya lebih dari 70 tahun dan ikut berjuang dalam perang kemerdekaan yang kini dikaruniai 4 orang anak dan seorang cucu. Anak pertama laki-laki dan susudah lulus SMP menikah, sedang ketiga adecknya cew dan masih duduk dibangku SD dan SMP, dan semuanya menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian warisan dari kakek buyutnya yang hanya sebesar 70ru atau ¼ Ha.

Para petani pada umumnya sangat bersemangat ketika musim panen tiba, namun tak begitu dengan pak umar dan petani tembakau lainya. Harga tembakau untuk tahun ini terjun bebas diangka Rp. 15,000 untuk tembakau kering dan seribu rupiah untuk tembakau basah di pohon. Dari tanah pak umar menghasilkan tembakau basah maksimal 1,5 ton. Dan jika di kurs kan denga harga seribu rupiah hanya menghasilkan Rp 1.500.000; itupun setelah proses hampir 4 bulan. Sungguh dilemma yang teramat dalam.

Pak umar pun mengigau tentang keadaan harga tembakau 2 tahun yang lalu dimana untuk kering tembus sampai Rp. 100.000; dan harga normal dipasaran untuk perhitungan BEP adalah Rp. 35.000; untuk tembakau kering. Tapi apalah daya meskipun harga rokok terus merangkak naik tapi tembakau malahan turun. Sunguh kacau balau kondisi masyarakat kecil dan kaum buruh yang ada di negeri ini.

Dipinggiran sungai kecil yang membelah hamparan sawah yang teramat luas umar menggelayut dalam tekanan dan beribu tanda tanya. Kenapa para pembesar senang dengan penderitaan kami, tak adakah secercah perasaan yang memberikan sebuah keadilan social seperti yang didengungkan sang proklamator dalam perang kemerdekaan yang lalu.
Dan kenapa “kata gemah ripah loh jinawi” dan “asah –asih, sambang-sambung” tak pernah melambung dalam membntuk sebuah zona perekonomian untuk mensejahterakan rakyat sesui apa yang menjadi penyatu kekuatan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Santri Mbeling

 

Maliki Nusantara Copyright © 2012 - |- Template created by Santri Mbeling - |- Powered by Blogger Templates