Kepulan asap
tembakau nan harum terngiang dalam sebuah bilik bambu ukuran 6x8 m, berbaur
dengan hawa segar dari racikan maestro minuman pekat yang telah menjadi sahabat
warga Tulungagung. Tradisi “Ngopi” mampu menyatukan, dan mempertemukan berbagai
kalangan dalam bingkai seruputan mantap dan clegukan tetesan hitam dari buah
yang sesungguhnya berwarna merah. Mungkin, merah ini yang mengilhami keberanian
para penikmatnya untuk mengonani pemikiranya, walaupun hanya dalam bilik bambu
kecil yang tak berharga.
Berharga atau
dihargai, sebuah ungkapan yang sebenarnya menjadi kebutuhan tiap insane yang
hidup di dunia ini. Dan ada banyak jalan untuk mendapatkan itu mulai dari
“menggojlok” teman saat bareng-bareng nongkrong di bilik bamboo atau warkop,
memenangi sebuah kejuaraan, melawan sebuah ketidak adilan, sampai menduduki kursi
panas penguasa tanah “Ngrowo” atau Tulungagung, yang lebih panas dari seduhan
kopi hitam yang mampu sayat lidah manusia.
Ngrowo tengah
dalam transisi, kondisi dimana semua lapisan masyarakat tertuju pada sebuah
panggung pertempuran politik untuk menentukan nasib Tulungagung 5 Tahun
kedepan. Tanggal 4 Desember 2012 telah dilakukan pengundian nomor urut pasangan
calon Raja Kecil kabupaten Tulungagung oleh Komisioner yang bertugas
menyelenggarakan Pemilu, kendati masih meninggalkan sedikit persoalan yang
harus diselesaikan, bahkan sampai masuk ke ranah pengadilan tata usaha Negara.
Meskipun demikian
tata pemerintahan tetap harus diteruskan, tidak boleh larut dalam kemelut,
harus lanjut, transisi adalah waktu yang paling labil dalam urusan sebuah
organisasi baik pemerintahan maupun non pemerintahan. Maklumlah euphoria domokrasi
masih menggelayuti masyarakat Tulungagung pasca teradinya revormasi 1998 yang
tak sedikit menelan korban.
Korban-korban
keganasan politik praktispun sudah mulai terlihat. Mulai dari penghabisan nama
baik, hingga pengganjalan salah satu calon untuk memenangi di sebuah daerah. Ah, sebenarnya akupun cukup muak dengan
semua pertempuran ini, tapi mau gimana lagi, panggung demokrasi ini harus kita
hadapai. Sebab, kalau kita tak mau
bermain, kita akan dimainkan orang lain. Sebuah ungkapan yameng sangat
tepat untuk menggambarkan kondisi simalakama ini.
Simalakama yang terus menggelayuti mendung kota
Tulungagung, sampai awal tahun 2013 depan. Namun dalam semua hal yang terjadi
tentunya harapan yang sederhana dari semua kalangan, namun sangat sulit
diwujutkan adalah bagaimana seorang pemimpin Tulungagung mampu menerjemahkan
landasan fundamental bangsa ini, yakni Pancasila. Bukan hanya untuk kepentingan
golongan tertentu, atau bahkan hanya untuk mengeruk uang Negara untuk
memperkaya diri sendiri. Seperti yang sudah-sudah.
0 komentar:
Posting Komentar