Sabtu, 08 Desember 2012

0 Meng “Kopi” kenikmatan Pekatnya Kursi


Kepulan asap tembakau nan harum terngiang dalam sebuah bilik bambu ukuran 6x8 m, berbaur dengan hawa segar dari racikan maestro minuman pekat yang telah menjadi sahabat warga Tulungagung. Tradisi “Ngopi” mampu menyatukan, dan mempertemukan berbagai kalangan dalam bingkai seruputan mantap dan clegukan tetesan hitam dari buah yang sesungguhnya berwarna merah. Mungkin, merah ini yang mengilhami keberanian para penikmatnya untuk mengonani pemikiranya, walaupun hanya dalam bilik bambu kecil yang tak berharga.
Berharga atau dihargai, sebuah ungkapan yang sebenarnya menjadi kebutuhan tiap insane yang hidup di dunia ini. Dan ada banyak jalan untuk mendapatkan itu mulai dari “menggojlok” teman saat bareng-bareng nongkrong di bilik bamboo atau warkop, memenangi sebuah kejuaraan, melawan sebuah ketidak adilan, sampai menduduki kursi panas penguasa tanah “Ngrowo” atau Tulungagung, yang lebih panas dari seduhan kopi hitam yang mampu sayat lidah manusia.
Ngrowo tengah dalam transisi, kondisi dimana semua lapisan masyarakat tertuju pada sebuah panggung pertempuran politik untuk menentukan nasib Tulungagung 5 Tahun kedepan. Tanggal 4 Desember 2012 telah dilakukan pengundian nomor urut pasangan calon Raja Kecil kabupaten Tulungagung oleh Komisioner yang bertugas menyelenggarakan Pemilu, kendati masih meninggalkan sedikit persoalan yang harus diselesaikan, bahkan sampai masuk ke ranah pengadilan tata  usaha Negara.
Meskipun demikian tata pemerintahan tetap harus diteruskan, tidak boleh larut dalam kemelut, harus lanjut, transisi adalah waktu yang paling labil dalam urusan sebuah organisasi baik pemerintahan maupun non pemerintahan. Maklumlah euphoria domokrasi masih menggelayuti masyarakat Tulungagung pasca teradinya revormasi 1998 yang tak sedikit menelan korban.
Korban-korban keganasan politik praktispun sudah mulai terlihat. Mulai dari penghabisan nama baik, hingga pengganjalan salah satu calon untuk memenangi di sebuah daerah. Ah, sebenarnya akupun cukup muak dengan semua pertempuran ini, tapi mau gimana lagi, panggung demokrasi ini harus kita hadapai. Sebab, kalau kita tak mau bermain, kita akan dimainkan orang lain. Sebuah ungkapan yameng sangat tepat untuk menggambarkan kondisi simalakama ini. 
Simalakama yang terus menggelayuti mendung kota Tulungagung, sampai awal tahun 2013 depan. Namun dalam semua hal yang terjadi tentunya harapan yang sederhana dari semua kalangan, namun sangat sulit diwujutkan adalah bagaimana seorang pemimpin Tulungagung mampu menerjemahkan landasan fundamental bangsa ini, yakni Pancasila. Bukan hanya untuk kepentingan golongan tertentu, atau bahkan hanya untuk mengeruk uang Negara untuk memperkaya diri sendiri. Seperti yang sudah-sudah.

0 komentar:

Posting Komentar

Santri Mbeling

 

Maliki Nusantara Copyright © 2012 - |- Template created by Santri Mbeling - |- Powered by Blogger Templates